Senin, 15 Maret 2010

Sanggar Motékar: Mengayuh ke Hulu, Berpacu dengan Waktu





Dalam éra globalisasi ini pengaruh budaya asing –terutama dari barat- datang ke negeri kita secara bergelombang, dengan modal besar, dengan kemasan yang menawan, melalui téknologi yang serba canggih dan didukung penuh oléh berbagai pihak termasuk pemerintah.

Dalam situasi seperti ini, senibudaya tradisional di berbagai pelosok negeri yang mengandung berbagai nilai luhur kepribadian bangsa dan berfungsi sebagai idéntitas dan peneguh jatidiri bangsa terdesak, terlindas, terabaikan, sehingga satu demi satu musnah.

Jatinangor sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah Républik Indonésia tidak dapat terlepas dari keadaan seperti ini. Dalam kedudukannya sebagai kawasan pendidikan dan pintu gerbang barat Kabupatén Sumedang, alih-alih menjadi aréal bénténg budaya dan penanda idéntitas Sunedang yang konon kota budaya malah mengalami kemerosotan budaya yang paling parah di Kabupatén Sumedang.

Beragam seni tradisional yang dahulu hidup subur di Jatinangor, satu demi satu musnah. Dan yang tersisa sekarang keadaannya sudah sangat memprihatinkan, bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, dan diyakini jika tidak segera dilakukan upaya pemeliharaan akan segera pula musnah.
Keadaan seperti itu tentu saja tidak boléh hanya dihadapi dengan sikap berdiam diri, berkeluh-kesah, berpidato, marah-marah atau ditangisi saja, melainkan harus dijawab dengan langkah-langkah nyata, betapa pun kecilnya.

Sementara itu terpikirkan bahwa hakikat dari pelestarian adalah pewarisan yang berkesinambungan. Dan bicara tentang pewarisan maka mau tidak mau upaya pemeliharaan harus diarahkan kepada anak-anak dan generasi muda sebagai pewaris kebudayaan bangsa.

Fakta bahwa generasi muda sekarang ini kurang berminat terhadap budayanya sendiri dan dinilai sudah terasuki budaya asing janganlah terlalu cepat divonis tidak setia terhadap budaya sendiri. Pemerintah dan setiap orangtua harus secara jujur menelisik diri sendiri akan adanya kemungkinan keléngahan dan kekeliruan dalam stratégi kabudayaan; Meréka –generasi pewaris kebudayaan itu- tidak boléh dan tidak akan bisa hanya dioméli dan dipersalahkan saja. Meréka mengabaikan seni tradisi luhur warisan leluhur belum tentu karena kacang lupa akan kulitnya, melainkan mungkin saja karena meréka sejak lahir tidak pernah memperoléh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan seni-seni tradisi itu -di rumah tidak, di lingkungan tidak, di sekolah pun tidak. Sebaliknya, sejak lahir mata dan telinga meréka disuguhi bahkan dijejali dengan berbagai jenis seni yang datang dati luar, tanpa saringan, tanpa batu timbangan, apalagi perlawanan. Berlakulah peribahasa tidak kenal maka tak sayang.

Berdasarkan situasi, kondisi, kesadaran, dan pendirian itulah Sanggar motékar didirikan.

Program dirancang lalu tanpa banyak rétorika, dilaksanakan. Dalam hal ini Sanggar motékar merasa harus berpacu dengan waktu. Berbagai jenis seni tradisi sudah dalam keadaan koma, sedang ngantri di bibir lubang kubur, menanti penyelamatan dan perawatan dari para ahli yang memiliki tangan terampil, sementara sisa para pemilik tangan terampil itu rata-rata lansia bahkan banyak yang sudah uzur, tak mungkin lagi diajak bekerja.

Bekerjasama dengan sekolah-sekolah, sisa para seniman tradisi serta didukung oléh Déwan Kesenian Jatinangor (DKJ) dan para mahasiswa dari berbagai kampus, Sanggar motékar melaksanakan program :

A. Program Konsérvasi
1. Pelatihan Tari Keurseus dan Tari Wayang
2. Pelatihan gamelan degung dan gamelan saléndro.
3. Pelatihan lagu-lagu Bincarung dan lagu-lagu Cangkurileung
4. Pelatihan Tari Ketuktilu Cikeruhan
5. Pelatihan pencaksilat
6. Pelatihan Basa Sunda : mengarang, membaca, mendongéng, berpidato, MC
7. Pelatihan téater

B. Program Inovasi
1. Pelatihan tari kréasi : Tari Merak, Tari Metik Entéh, Tari Kaulinan Barudak
2. Pelatihan musik kolaborasi

C. Program Dokuméntasi
Mendokuméntasikan pernik-pernik kebudayaan Jatinangor/Sumedang dalam bentuk :
tulisan yang dimuat dalam berbagai média, foto dan filem dokuméntér.***